Jumat, 05 Desember 2008

oktober rain



asap. rintik hujan.
bagaimana bisa ada asap di detik-detik awal hujan ini?
akankah asap kelabu ini terhapus bening rintik hujan?
atau wangi hujan ini tercemar asap pembuangan?
TIDAK! jangan racuni wangi hujanku.

hujan.
wiper yang menyapu memecah kesunyian dua orang di hadapnya.
genggaman tangan menghangatkan hati dua orang pemiliknya.
usapan ujung jari di kaca berembun membentuk nama orang yang dirindukan.
jalan membasah tanda dinginnya suasana keadaan.
ciuman lekat dari hati dingin dua orang yang berkasih semu.

adakah asap debu akan terhapus hujan ini?
atau percuma hujan ada
jika asap dan debu toh tetap akan melekat di jalan.




Jumat, 25 Juli 2008

Semalam Melelahkan


Satu batang rokok sudah terselip di antara dua jarinya lentiknya. Nyalakan korek. Hisap.


Tubuhnya lelah. Lelah yang rasanya tak terkurangi oleh kesegaran jiwanya yang lain karena air pagi yang membenamkan tubuh indahnya itu dalam-dalam. Kreatifitas intelektualnya melemah, menyusul pikirannya yang pun lemah karena tubuh lelah tadi.


Semalam memang melelahkan. Tapi dia berharap pagi ini kelelahannya hilang. Tanpa berharap pun, kelelahannya memang pasti akan hilang di pagi-pagi seperti ini. Yah .. Pagi-pagi seperti ini sangat biasa, setelah malam-malam melelahkan yang terlalu ‘seperti biasanya’.


Ia berjanji untuk memorinya sendiri, tak akan mengingat wajah-wajah adam keriput semalam, wajah-wajah bapak erot, wajah-wajah menuntut, wajah-wajah memaksa. Memaksa. Mereka bukan presiden, mereka bukan tuhan. Tapi kenapa mereka begitu memaksanya semalam?! Ia membenci mereka tapi ia mencintai dompet mereka. Ia mencintai isinya yang berupa lembaran-lembaran tepatnya. Karena ia membenci sisanya yang di dompetnya, entah itu foto anak sulung mereka –panggil mereka : si-suara-sengau-, ataupun tiket pesawat liburan bersama anak istri mereka ke luar negeri akhir bulan ini. Memaksa? Dia itu perempuan, bukan boneka berambut yang bisa dilempar dari kasur satu ke kasur yang lainnya, dari dekapan si-suara-sengau satu ke si-suara-sengau lainnya. Dia benci 9 jam lelah-lelah semalam, tapi dia cinta 25 menit sejuk pagi ini. Karena mereka telah pergi! Ya, dia memang mencintai ketika mereka semua si bajingan-bajingan itu pergi. Memaksa! “Terima kasih banyak, Ca. Kamu menolongku tadi malam. Kamu tau aku lelah, kamu mau dibagi kelelahanku. Aku nyaris kehabisan nafas, Ca. Padahal semalam nafasku disembah, nafasku dipuja, dipermainkan yang aku juga sebenarnya suka. Kamu partner hebat! Malam-malam besok lagi ya. Eh rok kamu bagus, beli dimana?”


Satu batang rokok terselip lagi di antara dua jari lentiknya. Nyalakan korek lagi. Hisap lagi.


Sekarang, di 25 menit sejuk pagi ini, hanya ada batangan daun-daun kering ini di sekitarnya. Eh, ada lagi. Ica. Ica yang tau persis aliran darahnya. Aliran darah yang terasa panas tadi malam yang melelahkan. Sekarang tidak lagi, sejuk malahan.

“Tidak ada bedanya, Ica sayang. Tidak ada bedanya dengan pagi-pagi seperti ini yang sudah berpuluh-puluh kali kita nikmati, kita cintai. Pagi-pagi seperti ini, lebih kita hasrati daripada malam-malam panas yang juga kita hasrati namun terpaksa lalui bersama mereka bajingan itu.”


SPRMNKJK ;]

Selasa, 24 Juni 2008

Juni di Sore hari


Matamu tajam melihat. Ku membalas matamu segera. Bibirmu mendekat. Ku pasti sentuh bibirmu. Sore hari, ilalang hanya terdiam seolah berbisik pada angin : menyaksikan kelekatan sempurna itu ..

                                                                                   * * *

Bodoh Cantik, kamu ngapain sih lari-lari begitu? Percuma banget tauk, angin lagi enak-enak gini juga!”
 
Lah?! Kamu itu memang tidak ada tanggungjawabnya ya, Bodoh Tampan! Sehabis  ciuman itu tadi, pergi melangkah membuat jarak delapan kaki dariku. Meninggalkan aku bertemankan ilalang yang setia menanti angin yang pergi ikut bersamamu segera.
 
Tanyakan saja pada ilalang yang tinggi-tinggi itu. Mereka yang sedari tadi mengawasi kita, sambil bergoyang dari samping kiri kanan ke depan belakang, kuyakini bersedia menjawab pertanyaanmu barusan sambil tercengang. 
 
Jawaban mereka pasti ‘tidak akan rela’, disiram hujan pemerih luka tiba-tiba sehabis damainya-damainya dielus angin mesra mencumbu mereka. Mereka pasti sesalkan angin maya yang tadinya mereka sangka tidak akan membawa hujan kesedihan bermakna.
 
Jawaban mereka pasti ‘tidak akan pasrah’, dibiarkan berubah jadi warnanya hitam bau arang, sehabis jaya-jayanya keemasan memahkotai mereka beristanakan lembut yang wangi menerawang. Mereka pasti sesalkan satu-dua batang korek api yang dilemparkan si akang petani, penyebab tenggelamnya jiwa mereka ke dalam tanah duniawi. 
 
Jawaban mereka pasti ‘tidak dengan senang hati’, susah payah tumbuh menjulang tinggi cantik perkasa, tapi kemudian dipetik sesuka tangan-tangan remaja disela tawa-tawa asmara sesaat mereka, kemudian dibuang ke pojok jalanan hampa. Hanya karena mereka tidak bisa dibawa pulang sebagai hiasan untuk dibangga-banggakan seisi rumah, mereka disumpah serapah.
 
Aku tak seperti mereka, Bodoh Tampan. Aku tidak seperti ilalang yang sejatinya tegar, hanya sekedar tak rela, hanya sekedar tidak dengan senang hati, hanya sekedar dibanjiri hujan sedih ketika semuanya terlanjur terjadi. Melainkan aku hanya saja tidak peduli dengan angin-angin sejuk yang kamu bilang enak ini, Bodoh Tampan. Karena hanya percuma jika tertegun menikmati angin-angin yang kau bilang enak ini, sambil melihat dari jarak delapan kaki yang kau buat tadi, dan dalam kesesakan hati melihat punggung tegakmu yang semakin mengalirnya detik semakin menjauh dari diriku ini.
 
Aku tidak peduli dengan angin-angin yang kau bilang enak ini. Sungguh, sekali lagi aku sebutkan aku tidak peduli. Ciuman itu tadi barusan yang ku nyaris lupa bagaimana rasanyalah yang aku butuhkan. Aku butuh kau mengingatkannya padaku lagi sekarang. Jadi, ku peringatkan kamu sekarang, Bodoh Tampan! Kembali ke sini. Kembali ke balik ilalang-ilalang lembut ini. Hei, aku bilang sekarang, Bodoh! Dengar tidak?? Damn. Ternyata memang aku harus mengejar ke arahmu, Bodoh Tampan. Aku memang harus berlari-lari kecil, tak pedulikan nikmatnya angin-angin yang kamu bilang enak ini mengelus seluruh kulitku. Jadi kusarankan, jangan lagi-lagi kamu berkata :
 
Bodoh Cantik, kamu ngapain sih lari-lari begitu? Percuma banget tauk, angin lagi enak-enak gini juga!”
 
karena baru saja sudah ku katakan alasannya, dan ku yakin kamu pasti mendengarnya. Kecuali saat ini pendengaran hatimu memang sudah tidak seperti biasanya.
 
Aku tak peduli dengan kenikmatan angin-angin yang kau bilang enak ini, Bodoh Tampan. Sungguh! Aku tidak peduli. Menurutku tugas mereka hanyalah berbisik pada ilalang setiap detiknya. Bahkan jika perlu ku suruh mereka terdiam, karena tadi telah ku beri mereka satu tugas baru lagi setibanya kita berdua di tempat indah ini, Bodoh Tampan: untuk membantuku merekam kelembutan tulus hasratnya menyentuh ilalang-ilalang yang dahsyat merindu itu.
 
.. Karena ciuman itu tadi barusan, lebih sarat kelembutannya dari angin sejuk yang bercinta dengan ilalang yang tegar namun bersedih manapun ..
 
 
                                                                                                                                                                                                 SPRMNKJK ;] ..*